Pemeriksaan laboratorium penting untuk mengetahui
secara pasti apakah seseorang terinfeksi HIV atau tidak, karena pada HIV gejala
klinis dapat terlihat setelah bertahun-tahun lamanya. Terdapat berbagai macam
tes laboratorium untuk memastikan terinfeksi HIV. Secara garis besar terbagi
menjadi pemeriksaan serologis untuk mendeteksi keberadaan antibodi terhadap HIV
dan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV. Pemeriksaan yang mudah
dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap antibodi HIV. Metode yang biasa
dilakukan di Indonesia adalah ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay).
Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tes ini adalah adanya masa jendela. Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai mulai timbulnya antibodi yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan. Antibodi mulai terbentuk dari 4-8 minggu setelah terinfeksi. Jadi, jika pada masa ini hasil tes HIV pada seseorang yang sebenarnya sudah terinfeksi HIV dapat memberi hasil negatif. Untuk itu jika ada kecurigaan dilakukan pemeriksaan ulang 3 bulan kemudian.
WHO menganjurkan pemakaian salah satu dari tiga
strategi pemeriksaan antibodi terhadap HIV. Strategi I dilakukan satu kali
pemeriksaan. Bila hasilnya reaktif dianggap sebagai terinfeksi HIV dan bila
hasil pemeriksaan non-reaktif dianggap tidak terinfeksi HIV.
Strategi II menggunakan 2 kali pemeriksaan jika pada
hasil pertama memberikan hasil reaktif. Bila hasil pemeriksaan kedua juga
reaktif maka dapat disimpulkan sebagai terinfeksi HIV. Namun, jika pemeriksaan
kedua adalah non-reaktif, maka kedua pemeriksaan harus diulang. Bila hasil
tetap tidak sama maka dilaporkan sebagai intermedinate (berisiko tinggi
tertular HIV).
Strategi III menggunakan tiga kali pemeriksaan. Bila
hasil pemeriksaan ketiganya negatif maka dapat disimpulkan pasien tersebut
memang terinfeksi HIV. Bila hasil pemeriksaan tidak sama, misalnya pertama
reaktif, kedua reaktif dan ketiga non-reaktif atau pertama reaktif, kedua dan
ketiga non-reaktif, maka keadaan ini disebut sebagai intermedinate bila pasien
yang diperiksa memiliki riwayat pemaparan terhadap HIV atau risiko tinggi
tertular HIV. Sedangkan apabila hasil yang disebut terjadi pada orang tanpa
riwayat pemaparan atau tidak berisiko tertular HIV maka hasil tersebut disebut
sebagai non-reaktif. Jika pemeriksaan antibodi menyatakan hasil reaktif maka
pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan
adanya infeksi HIV, yang paling sering dipakai adalah teknik Western Blot (WB).
Seseorang yang ingin menjalankan tes HIV untuk
keperluan diagnosis harus mendapat konseling pra tes. Hal ini dilakukan agar ia
mendapat informasi sejelas-jelasnya tentang HIV/AIDS sehingga siap menerima dan
mengambil keputusan apapun hasilnya nanti. Untuk memberi tahu hasil tes juga
diperlukan konseling pasca tes, baik hasil positif maupun negatif. Jika
hasilnya positif akan diberikan informasi mengenai pengobatan untuk
memperpanjang masa tanpa gejala dan cara mencegah penularan. Jika hasil
negatif, konseling tetap perlu dilakukan untuk memberikan informasi mengenai
bagaimana mempertahankan perilaku yang tidak berisiko. Seorang dinyatakan
terinfeksi HIV apabila dengan pemeriksaan laboratorium terbukti terinfeksi HIV.
Sedangkan diagnosis AIDS ditegakkan dengan melihat gejala klinis dari penyakit
lain yang menyertai penyakit ini atau limfosit CD4+ (limfosit CD4+ berfungsi
mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting) kurang dari 200sel/mm³.
Sumber : http://www.tanyadok.com/kesehatan/bagaimana-cara-mendiagnosa-hivaids | TanyaDok.com
Sumber : http://www.tanyadok.com/kesehatan/bagaimana-cara-mendiagnosa-hivaids | TanyaDok.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar