PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013
TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa
dengan terjadinya peningkatan kejadian HIV dan AIDS yang bervariasi mulai dari
epidemi rendah, epidemi terkonsentrasi dan epidemi meluas, perlu dilakukan
upaya penanggulangan HIV dan AIDS secara terpadu, menyeluruh dan berkualitas;
b. bahwa
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1285/Menkes/SK/X/2002
tentang Pedoman
Penanggulangan HIV/AIDS dan Penyakit Menular Seksual sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan pelayanan kesehatan, serta kebutuhan hukum;
Penanggulangan HIV/AIDS dan Penyakit Menular Seksual sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan pelayanan kesehatan, serta kebutuhan hukum;
c. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu
menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Penanggulangan HIV dan AIDS;
MEMUTUSKAN:
PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG
PENANGGULANGAN
HIV DAN AIDS.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan
Menteri ini yang dimaksud dengan:
1.
Penanggulangan adalah segala upaya yang meliputi
pelayanan promotif, preventif, diagnosis, kuratif dan rehabilitatif yang
ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan, angka kematian, membatasi penularan
serta penyebaran penyakit agar wabah tidak meluas ke daerah lain serta
mengurangi dampak negatif yang ditimbulkannya.
2.
Human Immunodeficiency Virus yang selanjutnya disingkat
HIV adalah
Virus yang menyebabkan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS).
Virus yang menyebabkan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS).
3.
Acquired Immuno Deficiency Syndrome yang selanjutnya
disingkat AIDS adalah suatu kumpulan gejala berkurangnya kemampuan pertahanan
diri yang disebabkan oleh masuknya virus HIV dalam tubuh seseorang.
4.
Orang Dengan HIV dan AIDS yang selanjutnya disingkat
ODHA adalah orang yang telah terinfeksi virus HIV.
5.
Infeksi Menular Seksual yang selanjutnya disingkat IMS
adalah infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual secara vaginal,
anal/lewat anus dan oral/dengan mulut.
6.
Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan
Konseling yang selanjutnya disingkat TIPK adalah tes HIV dan konseling yang
dilakukan kepada seseorang untuk kepentingan kesehatan dan pengobatan
berdasarkan inisiatif dari pemberi pelayanan kesehatan.
7.
Konseling dan Tes HIV Sukarela yang selanjutnya
disingkat KTS adalah proses konseling sukarela dan tes HIV atas inisiatif
individu yang bersangkutan.
8.
Konseling adalah komunikasi informasi untuk membantu
klien/pasien agar dapat mengambil keputusan yang tepat untuk dirinya dan
bertindak sesuai keputusan yang dipilihnya.
9.
Surveilans Epidemiologi adalah pemantauan dan analisa
sistematis terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan
kondisi yang mempengaruhinya untuk melakukan tindakan penanggulangan yang
efektif dan efisien.
10. Pemerintah
Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Pemerintah …
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Pemerintah …
11. Pemerintah
Daerah adalah Gubernur, Bupati, Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.12.
12. Menteri
adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
Pasal 2
Ruang lingkup
pengaturan dalam Peraturan Menteri ini meliputi penanggulangan HIV dan AIDS
secara komprehensif dan berkesinambungan yang terdiri atas promosi kesehatan,
pencegahan, diagnosis, pengobatan dan rehabilitasi terhadap individu, keluarga,
dan masyarakat.
Pasal 3
Pengaturan
Penanggulangan HIV dan AIDS bertujuan untuk:
a. menurunkan
hingga meniadakan infeksi HIV baru;
b. menurunkan
hingga meniadakan kematian yang disebabkan oleh keadaan yang berkaitan dengan
AIDS;
c. meniadakan
diskriminasi terhadap ODHA;
d. meningkatkan
kualitas hidup ODHA; dan
e. mengurangi
dampak sosial ekonomi dari penyakit HIV dan AIDS pada individu, keluarga dan
masyarakat.
BAB II
PRINSIP DAN STRATEGI
Pasal 4
Dalam
Penanggulangan HIV dan AIDS harus menerapkan prinsip sebagai
berikut:
berikut:
a. memperhatikan
nilai-nilai agama, budaya, dan norma kemasyarakatan
b.
menghormati harkat dan martabat manusia serta
memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender;
c.
kegiatan diarahkan untuk mempertahankan dan memperkokoh
ketahanan dan kesejahteraan keluarga;
d.
d. kegiatan terintegrasi dengan program pembangunan di
tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota;
e.
kegiatan dilakukan secara sistimatis dan terpadu, mulai
dari peningkatan perilaku hidup sehat, pencegahan penyakit, pengobatan,
perawatan dan dukungan bagi yang terinfeksi HIV (ODHA) serta orang-orang
terdampak HIV dan AIDS;
f.
kegiatan dilakukan oleh masyarakat dan Pemerintah
berdasarkan
kemitraan;
kemitraan;
g.
melibatkan peran aktif populasi kunci dan ODHA serta
orang-orang yang terdampak HIV dan AIDS; dan
h.
memberikan dukungan kepada ODHA dan orang-orang yang
terdampak HIV dan AIDS agar dapat mempertahankan kehidupan sosial ekonomi yang
layak dan produktif.
Pasal 5
Strategi yang
dipergunakan dalam melakukan kegiatan Penanggulangan HIV
dan AIDS meliputi :
dan AIDS meliputi :
a.
meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam
penanggulangan HIV dan AIDS melalui kerjasama nasional, regional, dan global
dalam aspek legal, organisasi, pembiayaan, fasilitas pelayanan kesehatan dan
sumber daya manusia;
b.
memprioritaskan komitmen nasional dan internasional;
c.
meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan mengembangkan
kapasitas;
d.
meningkatkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang
merata, terjangkau, bermutu, dan berkeadilan serta berbasis bukti, dengan
mengutamakan pada upaya preventif dan promotif;
e.
meningkatkan jangkauan pelayanan pada kelompok
masyarakat berisiko tinggi, daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan
kepulauan serta bermasalah kesehatan;
f.
meningkatkan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS;
g.
meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya
manusia yang merata dan bermutu dalam penanggulangan HIV dan AIDS;
h.
meningkatkan
ketersediaan, dan keterjangkauan pengobatan, pemeriksaan penunjang HIV dan AIDS
serta menjamin keamanan, kemanfaatan, dan mutu sediaan obat dan bahan/alat yang
diperlukan dalam penanggulangan HIV dan AIDS; dan
i.
meningkatkan manajemen penanggulangan HIV dan AIDS yang
akuntabel, transparan, berdayaguna dan berhasilguna.
BAB III
TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB
Pasal 6
Tugas dan
tanggung jawab Pemerintah dalam penanggulangan HIV dan AIDS
meliputi :
meliputi :
a. membuat
kebijakan dan pedoman dalam pelayanan promotif, preventif, diagnosis,
pengobatan/perawatan, dukungan, dan
rehabilitasi;
b. bekerjasama
dengan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan kebijakan serta memonitor
dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan;
c.
menjamin ketersediaan obat dan alat kesehatan yang
diperlukan dalam penanggulangan HIV dan AIDS secara nasional;
d.
mengembangkan sistem informasi; dan
e.
melakukan kerjasama regional dan global dalam rangka
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS.
Pasal 7
Tugas dan
tanggung jawab pemerintah daerah provinsi dalam penanggulangan
HIV dan AIDS meliputi :
HIV dan AIDS meliputi :
a.
melakukan koordinasi penyelenggaraaan berbagai upaya
pengendalian dan penanggulangan HIV dan AIDS;
b.
menetapkan situasi epidemik HIV tingkat provinsi;
c.
menyelenggarakan sistem pencatatan, pelaporan dan
evaluasi dengan memanfaatkan sistem informasi; dan
d.
menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan
tingkat primer dan rujukan dalam melakukan Penanggulangan HIV dan AIDS sesuai
dengan kemampuan.
Pasal 8
Tugas dan
tanggung jawab pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penanggulangan HIV dan
AIDS meliputi :
a. melakukan
penyelenggaraaan berbagai upaya pengendalian dan penanggulangan HIV dan AIDS;
b. menyelenggarakan
penetapan situasi epidemik HIV tingkat kabupaten/kota;
c. menjamin
ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat primer dan rujukan dalam
melakukan penanggulangan HIV dan AIDS sesuai dengan kemampuan; dan
d.
menyelenggarakan sistem pencatatan, pelaporan dan
evaluasi dengan memanfaatkan sistem informasi.
BAB IV
KEGIATAN PENANGGULANGAN
Bagian kesatu
Umum
Pasal 9
(1)
Kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS terdiri atas :
a.
promosi kesehatan;
b.
pencegahan penularan HIV;
c.
pemeriksaan diagnosis HIV;
d.
pengobatan, perawatan dan dukungan; dan
e.
rehabilitasi.
(2)
Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan oleh
Pemerintah dan masyarakat.
Pemerintah dan masyarakat.
(3)
Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dalam bentuk layanan komprehensif dan berkesinambungan.
(4)
Layanan komprehensif dan berkesinambungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) merupakan upaya yang meliputi semua bentuk layanan HIV
dan AIDS yang dilakukan secara paripurna mulai dari rumah, masyarakat sampai ke
fasilitas pelayanan kesehatan.
(5) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pedoman layanan komprehensif dan berkesinambungan diatur
dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Promosi Kesehatan
Pasal 10
(1)
Promosi kesehatan ditujukan untuk meningkatkan
pengetahuan yang benar dan komprehensif mengenai pencegahan penularan HIV dan
menghilangkan stigma serta diskriminasi.
(2)
Promosi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dalam bentuk advokasi, bina suasana, pemberdayaan, kemitraan dan
peran serta masyarakat sesuai dengan kondisi sosial budaya serta didukung
kebijakan publik.
(3)
Promosi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan terlatih.
(4)
Sasaran promosi kesehatan meliputi pembuat kebijakan,
sektor swasta, organisasi kemasyarakatan dan masyarakat.
(5)
Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diutamakan pada populasi sasaran dan populasi kunci.
(6)
Populasi sasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
merupakan populasi yang menjadi sasaran program.
(7)
Populasi kunci sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
meliputi:
a. pengguna
napza suntik;
b.
Wanita Pekerja Seks (WPS) langsung maupun tidak
langsung;
c.
pelanggan/ pasangan seks WPS;
d.
gay,
waria, dan Laki pelanggan/ pasangan Seks dengan sesama Laki
(LSL);
(LSL);
e.
warga binaan lapas/rutan.
Pasal 11
(1)
Promosi kesehatan dapat dilakukan terintegrasi dengan
pelayanan kesehatan maupun program promosi kesehatan lainnya.
(2)
Promosi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a.
iklan layanan masyarakat;
b.
kampanye penggunaan kondom pada setiap hubungan seks
berisiko penularan penyakit;
c.
promosi kesehatan bagi remaja dan dewasa muda;
d.
peningkatan kapasitas dalam promosi pencegahan
penyalahgunaan napza dan penularan HIV kepada tenaga kesehatan, tenaga non
kesehatan yang terlatih; dan
e.
program promosi kesehatan lainnya.
(3)
Promosi kesehatan yang terintegrasi pada pelayanan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan pada pelayanan:
a. kesehatan
peduli remaja;
b. kesehatan
reproduksi dan keluarga berencana;
c. pemeriksaan
asuhan antenatal;
d. infeksi
menular seksual;
e.
rehabilitasi napza; dan
f.
tuberkulosis.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pedoman teknis promosi kesehatan penanggulangan HIV dan
AIDS diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Pencegahan Penularan HIV
Paragraf 1
Umum
Pasal 12
(1) Pencegahan
penularan HIV dapat dicapai secara efektif dengan cara menerapkan pola hidup
aman dan tidak berisiko.
(2) Pencegahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya :
a. pencegahan
penularan HIV melalui hubungan seksual;
b.
pencegahan penularan HIV melalui hubungan non seksual;
dan c. pencegahan penularan HIV dari ibu ke anaknya;
Paragraf 2
Pencegahan Penularan HIV Melalui Hubungan
Seksual
Pasal 13
(1)
Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual
merupakan berbagai upaya untuk mencegah seseorang terinfeksi HIV dan/atau
penyakit IMS lain yang ditularkan melalui hubungan seksual.
(2)
Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual
dilaksanakan terutama di tempat yang berpotensi terjadinya hubungan seksual
berisiko.
(3) Pencegahan
penularan HIV melalui hubungan seksual dilakukan dengan
4 (empat) kegiatan yang terintegrasi meliputi:
4 (empat) kegiatan yang terintegrasi meliputi:
a. peningkatan
peran pemangku kepentingan;
b.
intervensi perubahan perilaku;
c.
manajemen pasokan perbekalan kesehatan pencegahan; dan
d. penatalaksanaan IMS.
(4)
Peningkatan peran pemangku kepentingan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a ditujukan untuk menciptakan tatanan sosial di
lingkungan populasi kunci yang kondusif.
(5)
Intervensi perubahan perilaku sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf b ditujukan untuk memberi pemahaman dan mengubah perilaku
kelompok secara kolektif dan perilaku setiap individu dalam kelompok sehingga
kerentanan terhadap HIV berkurang.
(6)
Manajemen pasokan perbekalan kesehatan pencegahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c ditujukan untuk menjamin tersedianya
perbekalan kesehatan pencegahan yang bermutu dan terjangkau.
(7)
Penatalaksanaan IMS sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf d ditujukan untuk menyembuhkan IMS pada individu dengan memutus mata
rantai penularan IMS melalui penyediaan pelayanan diagnosis dan pengobatan
serta konseling perubahan perilaku.
(8)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman penatalaksanaan
IMS diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 14
(1)
Pencegahan penularan HIV melalui hubungan
seksual dilakukan melalui upaya untuk:
a. tidak
melakukan hubungan seksual (Abstinensia);
b. setia
dengan pasangan (Be Faithful);
c. menggunakan
kondom secara konsisten (Condom use);
d. menghindari
penyalahgunaan obat/zat adiktif (no Drug);
e. meningkatkan
kemampuan pencegahan melalui edukasi termasuk mengobati IMS sedini mungkin
(Education); dan
f. melakukan
pencegahan lain, antara lain melalui sirkumsisi
(2)
Tidak melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
huruf a ditujukan bagi orang yang belum menikah.
huruf a ditujukan bagi orang yang belum menikah.
(3)
Setia dengan pasangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b hanya berhubungan seksual dengan pasangan tetap yang diketahui
tidak terinfeksi HIV.
(4)
Menggunakan kondom secara konsisten sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c berarti selalu menggunakan kondom bila terpaksa
berhubungan seksual pada penyimpangan terhadap ketentuan ayat (1) huruf a dan
huruf b serta hubungan seks dengan pasangan yang telah terinfeksi HIV dan/atau
IMS.
Paragraf 3
Pencegahan Penularan HIV Melalui Hubungan Non Seksual
Pencegahan Penularan HIV Melalui Hubungan Non Seksual
Pasal 15
(1)
Pencegahan penularan HIV melalui hubungan non seksual
ditujukan untuk mencegah penularan HIV melalui darah.
(2) Pencegahan
penularan HIV melalui hubungan non seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. uji
saring darah pendonor;
b. pencegahan
infeksi HIV pada tindakan medis dan non medis yang melukai tubuh; dan
c.
pengurangan dampak buruk pada pengguna napza suntik.
(3)
uji saring darah pendonor sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)
Pencegahan infeksi HIV pada tindakan medis dan non
medis yang melukai tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan
dengan penggunaan peralatan steril dan mematuhi standar prosedur operasional
serta memperhatikan kewaspadaan umum (universal precaution).
(5)
Pengurangan dampak buruk pada pengguna napza suntik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi:
a. program
layanan alat suntik steril dengan konseling perubahan perilaku serta dukungan
psikososial;
b. mendorong
pengguna napza suntik khususnya pecandu opiat menjalani program terapi rumatan;
c. mendorong
pengguna napza suntik untuk melakukan pencegahan penularan seksual; dan
d. layanan
konseling dan tes HIV serta pencegahan/imunisasi hepatitis.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengurangan
dampak buruk pada penggunaan napza suntik diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 4
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke
Anaknya
Pasal 16
Pencegahan
penularan HIV dari ibu ke anaknya dilaksanakan melalui 4 (empat) kegiatan yang
meliputi:
a. pencegahan
penularan HIV pada perempuan usia reproduktif;
b. pencegahan
kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan
HIV;
HIV;
c. pencegahan
penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang dikandungnya; dan
d. pemberian
dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan
HIV beserta anak dan keluarganya.
HIV beserta anak dan keluarganya.
Pasal 17
(1)
Terhadap ibu hamil yang memeriksakan kehamilan harus
dilakukan promosi kesehatan dan pencegahan penularan HIV.
(2)
Pencegahan penularan HIV terhadap ibu hamil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemeriksaan diagnostis HIV dengan tes
dan konseling.
(3)
Tes dan Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dianjurkan sebagai bagian dari pemeriksaan laboratorium rutin saat pemeriksaan
asuhan antenatal atau menjelang persalinan pada:
a.
semua ibu hamil yang tinggal di daerah dengan epidemi
meluas dan terkonsentrasi; atau
b.
ibu hamil dengan keluhan keluhan IMS dan tuberkulosis
di daerah epidemi rendah.
Pasal 18
(1)
Ibu hamil dengan HIV dan AIDS serta keluarganya harus
diberikan konseling mengenai:
a. pemberian
ARV kepada ibu;
c. pilihan
cara persalinan;
d. pilihan
pemberian ASI eksklusif kepada bayi hingga usia 6 bulan atau pemberian susu
formula yang dapat diterima, layak, terjangkau, berkelanjutan, dan aman
(acceptable, feasible, affordable, sustainable, and safe).
e. pemberian
susu formula dan makanan tambahan kepada bayi setelah
usia 6 bulan;
usia 6 bulan;
f.
pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksasol pada anak;
dan
g.
pemeriksaan HIV pada anak.
(2)
Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai
bagian dari standar perawatan bagi ibu hamil yang didiagnosis terinfeksi HIV
(3) Konseling
pemberian ASI dan pemberian makanan tambahan kepada bayi setelah usia 6 bulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d disertai dengan
informasi pemberian imunisasi, serta perawatan bayi baru lahir, bayi dan anak
balita yang benar.
Pasal 19
Setiap bayi yang
lahir dari ibu yang terinfeksi HIV harus dilakukan tes virologi HIV (DNA/RNA)
dimulai pada usia 6 (enam) sampai dengan 8 (delapan) minggu atau tes serologi
HIV pada usia 18 (delapan belas) bulan ke atas.
Pasal 20
Ketentuan lebih
lanjut mengenai Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari ibu ke anaknya diatur
dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Pemeriksaan
Diagnosis HIV Pasal 21
(1)
Pemeriksaan diagnosis HIV dilakukan untuk mencegah
sedini mungkin terjadinya penularan atau peningkatan kejadian infeksi HIV.
(2)
Pemeriksaan …
(3)
Pemeriksaan diagnosis HIV sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip konfidensialitas, persetujuan,
konseling, pencatatan, pelaporan dan rujukan.
(4)
Prinsip konfidensial sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berarti hasil pemeriksaan harus dirahasiakan dan hanya dapat dibuka kepada :
a.
yang bersangkutan;
b.
tenaga kesehatan yang menangani;
c.
keluarga terdekat dalam hal yang bersangkutan
tidak cakap;
d.
pasangan seksual; dan
e.
pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 22
(1)
Pemeriksaan diagnosis HIV dilakukan melalui KTS atau
TIPK.
(2)
Pemeriksaan diagnosis HIV sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilakukan dengan persetujuan pasien.
(3)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), dalam hal:
a.
penugasan tertentu dalam kedinasan
tentara/polisi;
b.
keadaan gawat darurat medis untuk tujuan
pengobatan pada pasien yang secara klinis telah menunjukan gejala yang mengarah
kepada AIDS; dan
c.
permintaan pihak yang berwenang sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 23
(1)
KTS dilakukan dengan langkah-langkah meliputi:
a. konseling pra tes;
b. tes HIV; dan
c. konseling pasca tes.
(2)
KTS hanya dilakukan dalam hal pasien memberikan
persetujuan secara tertulis.
(3)
Konseling pra tes sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dilakukan dengan tatap muka atau tidak tatap muka dan dapat
dilaksanakan bersama pasangan (couple counseling) atau dalam kelompok (group
counseling).
(4)
Konseling pasca tes sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf c harus dilakukan tatap muka dengan tenaga kesehatan atau konselor
terlatih.
Pasal 24
(1)
TIPK dilakukan dengan langkah-langkah meliputi:
a. pemberian informasi tentang HIV
dan AIDS sebelum tes;
b. pengambilan darah untuk tes;
c. penyampaian hasil tes; dan d.
konseling.
(2)
Tes HIV pada TIPK tidak dilakukan dalam hal pasien
menolak secara tertulis.
(3)
TIPK harus dianjurkan sebagai bagian dari standar
pelayanan bagi:
a. setiap
orang dewasa, remaja dan anak-anak yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan
dengan tanda, gejala, atau kondisi medis yang mengindikasikan atau patut diduga
telah terjadi infeksi HIV terutama pasien dengan riwayat penyakit tuberculosis
dan IMS;
b. asuhan
antenatal pada ibu hamil dan ibu bersalin;
c. bayi
yang dilahirkan oleh ibu dengan infeksi HIV;
d. anak-anak
dengan pertumbuhan suboptimal atau malnutrisi di wilayah epidemi luas, atau
anak dengan malnutrisi yang tidak menunjukan respon yang baik dengan pengobatan
nutrisi yang adekuat; dan
e.
laki-laki dewasa yang meminta sirkumsisi sebagai
tindakan pencegahan HIV.
(4)
Pada wilayah epidemi meluas, TIPK harus dianjurkan pada
semua orang yang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan sebagai bagian
dari standar pelayanan.
(5)
TIPK sebagai standar pelayanan pada epidemi meluas
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terutama diselenggarakan pada fasilitas
pelayanan kesehatan yang:
a. menyelenggarakan pelayanan medis
rawat jalan dan rawat inap;
b. menyelenggarakan pelayanan kesehatan pemeriksaan ibu hamil, persalinan dan nifas;
b. menyelenggarakan pelayanan kesehatan pemeriksaan ibu hamil, persalinan dan nifas;
c. memberikan pelayanan kesehatan
populasi dengan risiko tinggi;
d. memberikan pelayanan kesehatan
anak di bawah 10 tahun;
e. menyelenggarakan pelayanan bedah;
f. memberikan pelayanan kesehatan
remaja; dan
g. memberikan pelayanan kesehatan
reproduksi, termasuk keluarga berencana.
(6)
Fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
TIPK sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus memiliki kemampuan untuk
memberikan paket pelayanan pencegahan, pengobatan dan perawatan HIV dan AIDS.
(7) Pada …
(7) Pada …
(7)
Pada wilayah epidemi terkonsentrasi dan epidemi rendah,
TIPK dilakukan pada semua orang dewasa, remaja dan anak yang memperlihatkan
tanda dan gejala yang mengindikasikan infeksi HIV, termasuk tuberkulosis, serta
anak dengan riwayat terpapar HIV pada masa perinatal, pada pemerkosaan dan
kekerasan seksual lain.
(8)
TIPK sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terutama
diselenggarakan pada:
a.
pelayanan IMS;
b.
pelayanan kesehatan bagi populasi kunci/orang
yang berperilaku risiko tinggi;
c.
fasilitas pelayanan yang menyelenggarakan
pelayanan pemeriksaan ibu hamil, persalinan dan nifas; dan
d.
pelayanan tuberculosis.
Pasal 25
(1)
Tes HIV untuk diagnosis dilakukan oleh tenaga medis
dan/atau teknisi laboratorium yang terlatih.
(2)
Dalam hal tidak ada tenaga medis dan/atau teknisi
laboratorium sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bidan atau perawat terlatih
dapat melakukan tes HIV.
(3) Tes
HIV sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan metode
rapid diagnostic test (RDT) atau EIA (Enzyme Immuno Assay).
rapid diagnostic test (RDT) atau EIA (Enzyme Immuno Assay).
Pasal 26
(1)
Konseling wajib diberikan pada setiap orang yang telah
melakukan tes
HIV.
HIV.
(2)
Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas konseling pribadi, konseling berpasangan, konseling kepatuhan, konseling
perubahan perilaku, pencegahan penularan termasuk infeksi HIV berulang atau
infeksi silang, atau konseling perbaikan kondisi kesehatan, kesehatan
reproduksi dan keluarga berencana.
(3)
Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh konselor terlatih.
(4)
Konselor terlatih sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat merupakan tenaga kesehatan maupun tenaga non kesehatan.
Pasal 27
Ketentuan lebih
lanjut mengenai Tes dan Konseling HIV dan AIDS diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 28
(1)
Tes HIV pada darah pendonor, produk darah dan organ
tubuh dilakukan untuk mencegah penularan HIV melalui transfusi darah dan produk
darah serta transplantasi organ tubuh.
(2)
Tindakan pengamanan darah pendonor, produk darah dan
organ tubuh terhadap penularan HIV sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan uji saring darah/organ tubuh pendonor.
Pasal 29
(1)
Tindakan pengamanan darah terhadap penularan HIV
melalui transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) meliputi :
a. uji saring darah pendonor; dan
b. konseling pasca uji saring darah.
(2)
Sebelum dilakukan pengambilan darah pendonor, diberikan
informasi mengenai hasil pemeriksaan uji saring darah dan permintaan
persetujuan uji saring (informed consent).
(3)
Persetujuan uji saring (informed consent) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berisi pernyataan persetujuan pemusnahan darah dan
persetujuan untuk dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan apabila hasil uji
saring darah reaktif.
(4)
Uji saring darah pendonor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dilakukan sesuai dengan standard yang ditetapkan oleh Menteri.
(5)
Dalam hal hasil uji saring darah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a reaktif, maka Unit Transfusi Darah harus melakukan pemeriksaan
ulang.
(6)
Dalam hal hasil pemeriksaan ulang sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) tetap reaktif, Unit Transfusi Darah harus memberikan surat
pemberitahuan disertai dengan anjuran untuk melakukan konseling pasca uji
saring darah.
(7)
Konseling …
(8)
Konseling pasca uji saring darah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b berisi anjuran kepada pendonor yang bersangkutan untuk
tidak mendonorkan darahnya kembali dan merujuk pendonor ke fasilitas pelayanan
kesehatan untuk mendapatkan pelayanan Tes dan Konseling HIV.
Bagian Kelima
Pengobatan dan Perawatan
Paragraf 1
Umum
Pasal 30
(1)
Setiap fasilitas pelayanan kesehatan dilarang menolak
pengobatan dan perawatan ODHA.
(2) Dalam
hal fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak mampu
memberikan pengobatan dan perawatan, wajib merujuk ODHA ke fasilitas pelayanan
kesehatan lain yang mampu atau ke rumah sakit rujukan ARV.
Pasal 31
(1)
Setiap orang terinfeksi HIV wajib mendapatkan konseling
pasca pemeriksaan diagnosis HIV, diregistrasi secara nasional dan mendapatkan
pengobatan.
(2)
Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pencatatan yang memuat nomor kode fasilitas pelayanan kesehatan, nomor urut
ditemukan di fasilitas pelayanan kesehatan dan stadium klinis saat pertama kali
ditegakkan diagnosisnya.
(3)
Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) harus dijaga kerahasiannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 2
Pengobatan
Pasal 32
(1)
Pengobatan HIV bertujuan untuk mengurangi risiko
penularan HIV, menghambat perburukan infeksi oportunistik dan meningkatkan
kualitas hidup pengidap HIV.
(2)
Pengobatan …
(3)
Pengobatan HIV sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilakukan bersamaan dengan penapisan dan terapi infeksi oportunistik, pemberian
kondom dan konseling.
(4)
Pengobatan AIDS bertujuan untuk menurunkan sampai tidak
terdeteksi jumlah virus (viral load) HIV dalam darah dengan menggunakan
kombinasi obat ARV.
Pasal 33
(1) Pengobatan
HIV dan AIDS dilakukan dengan cara pengobatan:
a. terapeutik;
b.
profilaksis; dan c. penunjang.
(2)
Pengobatan terapeutik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a meliputi pengobatan ARV, pengobatan IMS, dan pengobatan infeksi
oportunitis.
(3) Pengobatan
profilaksis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. pemberian
ARV pasca pajanan; dan
b.
kotrimoksasol untuk terapi dan profilaksis.
(4) Pengobatan
penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi pengobatan
suportif, adjuvant dan perbaikan gizi.
Pasal 34
(1)
Pengobatan ARV diberikan setelah mendapatkan konseling,
mempunyai pengingat minum obat (PMO) dan pasien setuju patuh terhadap
pengobatan seumur hidup.
(2) Pengobatan
ARV sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diindikasikan bagi:
a. penderita
HIV yang telah menunjukkan stadium klinis 3 atau 4 atau jumlah sel Limfosit T
CD4 kurang dari atau sama dengan 350 sel/mm3;
b. ibu
hamil dengan HIV; dan
c.
penderita HIV dengan tuberkulosis.
(3)
Pengobatan ARV dimulai di rumah sakit dan dapat
dilanjutkan di puskesmas atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
(4) Rumah sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sekurang-kurangnya merupakan rumah sakit kelas C.
(4) Rumah sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sekurang-kurangnya merupakan rumah sakit kelas C.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pengobatan ARV diatur dengan
Peraturan Menteri.
Peraturan Menteri.
Paragraf 3
Pengobatan Bayi dan Ibu Hamil
Pasal 35
(1)
Setiap ibu hamil dengan HIV berhak mendapatkan
pelayanan persalinan di semua fasilitas pelayanan kesehatan.
(2) Pelayanan
persalinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan prosedur
kewaspadaan standar dan tidak memerlukan alat pelindung diri khusus bagi tenaga
kesehatan penolong persalinan.
Pasal 36
(1)
Setiap bayi baru lahir dari ibu HIV dan AIDS harus
segera mendapatkan profilaksis ARV dan kotrimoksazol.
(2) Dalam
hal status HIV belum diketahui, pemberian nutrisi sebagai pengobatan penunjang
bagi bayi baru lahir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Paragraf 4
Perawatan dan dukungan
Pasal 37
(1) Perawatan
dan dukungan HIV dan AIDS harus dilaksanakan dengan pilihan pendekatan sesuai
dengan kebutuhan:
a. perawatan
berbasis fasilitas pelayanan kesehatan; dan
c.
perawatan rumah berbasis masyarakat (Community Home
Based Care).
(1) Perawatan
dan dukungan HIV dan AIDS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan
secara holistik dan komprehensif dengan pendekatan biopsikososiospiritual yang
meliputi :
a. tatalaksana
gejala;
b. tata
laksana perawatan akut;
c. tatalaksana
penyakit kronis;
d. pendidikan
kesehatan;
e. pencegahan
komplikasi dan infeksi oportunistik;
f.
perawatan paliatif;
g. dukungan
psikologis kesehatan mental, dukungan sosial ekonomi, dan pemberdayaan
masyarakat untuk membina kelompok-kelompok dukungan; dan
h.
evaluasi dan pelaporan hasil.
(2)
Perawatan berbasis fasilitas pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan perawatan yang ditujukan
kepada orang terinfeksi HIV dengan infeksi oportunistik sehingga memerlukan
perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan sesuai dengan sistem rujukan.
(3)
Perawatan rumah berbasis masyarakat (Community Home
Based Care) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan bentuk
perawatan yang diberikan kepada orang terinfeksi HIV tanpa infeksi
oportunistik, yang memilih perawatan di rumah.
(4) Perawatan
dirumah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertujuan untuk mencegah infeksi,
mengurangi komplikasi, mengurangi rasa sakit/tidak nyaman, meningkatkan
penerimaan diri menghadapi situasi dan memahami diagnosis, prognosis dan
pengobatan, serta meningkatkan kemandirian untuk mencapai hidup yang
berkualitas.
Bagian Keenam
Rehabilitasi
Pasal 38
(1)
Rehabilitasi pada kegiatan Penanggulangan HIV dan AIDS
dilakukan terhadap setiap pola transmisi penularan HIV pada populasi kunci
terutama pekerja seks dan Pengguna Napza Suntik.
(2)
Rehabilitasi pada kegiatan Penanggulangan HIV dan AIDS
dilakukan melalui rehabilitasi medis dan sosial
(3)
Rehabilitasi pada kegiatan Penanggulangan HIV dan AIDS
ditujukan untuk mengembalikan kualitas hidup untuk menjadi produktif secara
ekonomis dan sosial
(4) Rehabilitasi
pada populasi kunci pekerja seks sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan cara pemberdayaan ketrampilan kerja dan efikasi diri yang dapat
dilakukan oleh sektor sosial, baik Pemerintah maupun masyarakat.
(5) Rehabilitasi pada populasi kunci pengguna napza suntik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara rawat jalan, rawat inap dan program pasca rawat sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan.
(5) Rehabilitasi pada populasi kunci pengguna napza suntik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara rawat jalan, rawat inap dan program pasca rawat sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan.
BAB V SURVEILANS
Pasal 39
(1) Surveilans
HIV dan AIDS dilakukan untuk pemantauan dan pengambilan keputusan dalam
Penanggulangan HIV dan AIDS.
(2) Surveilans
HIV dan AIDS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pelaporan
kasus HIV;
b. pelaporan
kasus AIDS;
c. sero
surveilans sentinel HIV dan sifilis;
d. surveilans
IMS;
e. surveilans
HIV berbasis layanan Konseling dan Tes HIV;
f. surveilans
terpadu biologis dan perilaku;
g. survei
cepat perilaku; dan
h.
kegiatan pemantauan resistensi ARV.
(3)
Pelaporan kasus HIV sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a bertujuan untuk menentukan tingkat epidemi dan mencegah penularan lebih
lanjut.
(4)
Pelaporan kasus AIDS sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b bertujuan untuk pengobatan dan perbaikan kualitas hidup.
(5)
Sero surveilans sentinel HIV dan sifilis sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c bertujuan untuk memantau besaran dan
kecenderungan masalah.
(6)
Surveilans IMS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
d bertujuan untuk memantau besaran dan kecenderungan IMS.
(7) Surveilans
IMS sebagaimana dimaksud pada ayat (6) meliputi:
a. pelaporan
kasus dalam rangka mencari insiden;
b. penentuan
dan pemantauan prevalens;
c. penentuan
etiologi sindrom IMS;
d.
surveilans resistensi antibiotika; dan e. studi khusus.
(8)
Surveilans HIV berbasis layanan Konseling dan Tes HIV
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e bertujuan untuk mengetahui
kecenderungan infeksi HIV pada suatu kelompok berisiko yang datang ke layanan
konseling dan testing HIV.
(9)
Surveilans terpadu biologis dan perilaku sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf f bertujuan untuk memantau besaran dampak dan
kecenderungan perilaku berisiko terinfeksi HIV dan IMS secara periodik.(10)
Survei …
(10)
Survei cepat perilaku sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf g bertujuan mendapatkan gambaran segera untuk memulai dan/atau mengevaluasi
suatu tindakan kesehatan masyarakat.
(11) Kegiatan
pemantauan resistensi ARV sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf h meliputi:
(2) huruf h meliputi:
a.
survey ambang batas bertujuan untuk melihat
tingkat resistensi obat
ARV pada orang yang baru terkena HIV;
ARV pada orang yang baru terkena HIV;
b.
survey monitoring bertujuan untuk melihat
resistensi selama pengobatan ARV; dan
c.
indikator kewaspadaan dini bertujuan untuk melihat
optimalisasi fungsi program ART dalam mencegah resistensi ARV.
(12) Ketentuan
lebih lanjut mengenai Surveilans HIV dan AIDS diatur dengan
Peraturan Menteri.
Peraturan Menteri.
BAB VI MITIGASI DAMPAK
Pasal 40
(1)
Mitigasi dampak merupakan upaya untuk mengurangi dampak
kesehatan dan sosial ekonomi.
(2) Pemerintah,
pemerintah daerah, swasta dan masyarakat secara sendiri dan/atau bersama-sama
melaksanakan mitigasi dampak sosial ekonomi ODHA dan keluarga dengan cara:
a. memberikan
jaminan kesehatan;
b. menghilangkan
diskriminasi dalam memberikan layanan dan dalam kehidupan bermasyarakat;
c. menyelenggarakan
program-program bantuan untuk meningkatkan pendapatan keluarga; dan
d.
mengikutsertakan ODHA dan keluarga dalam upaya
Penanggulangan HIV dan AIDS sebagai sarana untuk pemberdayaan ekonomi dan
sosial ODHA.
(3) Kegiatan
mitigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB VII
SUMBER DAYA KESEHATAN
Bagian Kesatu
Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Pasal 41
(1)
Setiap ODHA berhak memperoleh akses pelayanan
kesehatan.
(2)
Setiap fasilitas pelayanan kesehatan wajib memberikan
pelayanan kesehatan pada ODHA sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
(3)
Setiap fasilitas pelayanan kesehatan primer wajib mampu
melakukan upaya promotif, preventif, konseling, deteksi dini dan merujuk kasus
yang memerlukan rujukan.
(4)
Setiap rumah sakit sekurang-kurangnya kelas C wajib
mampu mendiagnosis, melakukan pengobatan dan perawatan ODHA sesuai dengan
ketentuan dalam sistem rujukan.
(5) Fasilitas
pelayanan kesehatan primer dan rumah sakit kelas D dapat melakukan diagnosis,
pengobatan dan perawatan ODHA sesuai dengan kemampuan dan sistem rujukan.
Pasal 42
(1)
Setiap fasilitas pelayanan kesehatan wajib melaksanakan
tindakan preventif untuk mencegah penularan infeksi termasuk HIV.
(2) Tindakan
preventif untuk mencegah penularan infeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. kewaspadaan
umum (universal precaution);
b. kepatuhan
kepada program pencegahan infeksi sesuai dengan standar;
c. penggunaan
darah yang aman dari HIV; dan
d.
komunikasi, informasi dan edukasi kepada pasien.
(3) Dalam
hal fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak melaksanakan tindakan preventif
untuk mencegah penularan infeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), Menteri, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota
sesuai kewenangannya masing- masing dapat mengenakan tindakan administratif
berupa :
a. teguran
lisan;
b. teguran
tertulis; dan/atau c. pencabutan izin.
Bagian Kedua
Sumber Daya Manusia
Pasal 43
(1)
Sumber daya manusia dalam Penanggulangan HIV dan AIDS
meliputi tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan.
(2)
Sumber daya manusia kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi dan kewenangan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Dalam hal pada suatu daerah tidak terdapat tenaga
kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan, tenaga kesehatan lain yang
terlatih dapat menerima penugasan.
(4)
Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
oleh kepala dinas kesehatan setempat setelah memperoleh pertimbangan dari
organisasi profesi terkait.
(5)
Tenaga non kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berperan di bidang kebijakan, kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, sosial,
budaya yang mencakup segenap permasalahan HIV dan AIDS secara holistik.
Bagian Ketiga
Ketersediaan Obat dan Perbekalan Kesehatan
Pasal 44
(1)
Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin ketersediaan
obat dan perbekalan kesehatan yang diperlukan untuk penanggulangan HIV dan
AIDS.
(2) Obat
dan perbekalan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
meliputi:
a. kondom;
b. lubrikan;
c. alat
suntik steril;
d. reagensia
untuk tes HIV dan IMS;
e. obat
ARV;
f. obat
tuberkulosis;
g. obat
IMS; dan
h.
obat untuk infeksi oportunistik.
Pasal 45
(1)
Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah
daerah kabupaten/kota dalam menjamin ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 harus menyusun rencana kebutuhan secara
berjenjang.
(2)
Pengadaan obat dan perbekalan kesehatan untuk
penanggulangan HIV dan AIDS oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi,
dan/atau pemerintah daerah kabupaten/kota harus dilaksanakan, dicatat dan
dilaporkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Pendanaan
Pasal 46
Perawatan dan
pengobatan bagi orang terinfeksi HIV yang miskin dan tidak mampu ditanggung
oleh negara.
Pasal 47
(1)
Setiap penyelenggara asuransi kesehatan wajib
menanggung sebagian atau seluruh biaya pengobatan dan perawatan tertanggung yang
terinfeksi HIV sesuai dengan besarnya premi.
(2) Pertanggungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam informasi pada
polis.
Pasal 48
Pemerintah dan
pemerintah daerah wajib menyediakan alokasi anggaran untuk pendanaan kegiatan Penanggulangan
HIV dan AIDS.
BAB VIII KERJASAMA
Pasal 49
(1)
Upaya penanggulangan HIV dan AIDS dapat diselenggarakan
oleh masing- masing instansi dan/atau melalui kerjasama dua atau lebih pihak
berupa kegiatan khusus Penanggulangan HIV dan AIDS atau terintegrasi dengan
kegiatan lain.
(2) Lembaga …
(2) Lembaga …
(2)
Lembaga swadaya masyarakat, perguruaan tinggi,
organisasi profesi bidang kesehatan, komunitas populasi kunci, dan dunia usaha
dapat bermitra aktif dengan instansi/lembaga pemerintah dalam Penanggulangan
HIV dan AIDS.
(3)
Mitra Pembangunan Internasional (International
Development Partners) dapat berkontribusi dalam Penanggulangan HIV dan AIDS
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)
Kerjasama dan kemitraan khusus Penganggulangan HIV dan
AIDS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , ayat (2) dan ayat (3) dipimpin dan
dikoordinasikan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Komisi Penanggulangan
AIDS Provinsi dan Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten/Kota.
BAB IX
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 50
Setiap orang
harus berpartisipasi secara aktif untuk mencegah dan menanggulangi epidemi HIV
sesuai kemampuan dan perannya masing-masing.
Pasal 51
(1) Masyarakat
dapat berperan serta dalam upaya Penanggulangan HIV dan
AIDS dengan cara:
AIDS dengan cara:
a. mempromosikan
perilaku hidup sehat;
b. meningkatkan
ketahanan keluarga;
c. mencegah
terjadinya stigma dan diskrimasi terhadap orang terinfeksi
HIV dan keluarga, serta terhadap komunitas populasi kunci;
HIV dan keluarga, serta terhadap komunitas populasi kunci;
d. membentuk
dan mengembangkan Warga Peduli AIDS; dan
e.
mendorong warga masyarakat yang berpotensi melakukan perbuatan
berisiko tertular HIV untuk memeriksakan diri ke fasilitas pelayanan KTS.
(2)
Perilaku hidup sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dilakukan dengan menghindari perilaku seksual dan non seksual berisiko
penularan HIV.
(3) Ketahanan
keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan cara
a. setia
pada pasangan; dan
b.
saling asah, asih dan asuh dalam keluarga menuju hidup
sehat, khususnya kesehatan reproduksi dan menghindari Napza.
(4) Mencegah
stigma dan diskriminasi orang terinfeksi HIV sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dilakukan dengan:
a.
memahami dengan benar dan lengkap mengenai cara
penularan HIV
dan pencegahannya;
dan pencegahannya;
b.
memberdayakan orang terinfeksi HIV sebagaimana
anggota masyarakat lainnya; dan
c.
mengajak semua anggota masyarakat untuk tidak
mendiskriminasi orang terinfeksi HIV baik dari segi pelayanan kesehatan,
pendidikan, pekerjaan dan semua aspek kehidupan.
Pasal 52
(1)
Warga Peduli AIDS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat (1) huruf d merupakan wadah peran serta masyarakat untuk melakukan
Penanggulangan HIV dan AIDS.
(2)
Warga Peduli AIDS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dibentuk di tingkat kecamatan, kelurahan/desa, dusun/kampung, rukun
warga, dan rukun tetangga.
(3) Kegiatan
Warga Peduli AIDS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diintegrasikan
dengan kegiatan desa/RW siaga.
Pasal 53
(1) ODHA
berperan serta dalam Penanggulangan HIV dan AIDS dengan cara:
a. menjaga
kesehatan pribadi;
b. melakukan
upaya pencegahan penularan HIV kepada orang lain;
c. memberitahu
status HIV kepada pasangan seksual dan petugas kesehatan untuk kepentingan
medis;
d. mematuhi
anjuran pengobatan; dan
e. berperan
serta dalam upaya Penanggulangan HIV dan AIDS bersama
Pemerintah dan anggota masyarakat lainnya;
Pemerintah dan anggota masyarakat lainnya;
(2) Peran
ODHA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui:
a. kewajiban
menggunakan kondom dengan benar dan konsisten;
b. menggunakan
alat suntik steril sekali pakai;
c. keikutsertaan
secara aktif pada layanan pencegahan penularan dari ibu ke anak bagi ibu hamil
yang terinfeksi HIV; dan
d. tidak
menjadi donor darah, produk darah dan/atau organ serta
jaringan tubuh lainnnya.
jaringan tubuh lainnnya.
BAB X
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
Pasal 54
(1) Untuk
menunjang upaya Penanggulangan HIV dan AIDS yang berbasis bukti dan perbaikan
dalam pelaksanaannya, dilakukan penelitian dan riset operasional di bidang:
a. epidemiologi;
b. humaniora
kesehatan;
c. pencegahan
penyakit;
d. manajemen
perawatan dan pengobatan;
e. obat
dan obat tradisional;
f. biomedik;
g. dampak
sosial ekonomi;
h.
teknologi dasar dan teknologi terapan; dan i. bidang
lain yang ditetapkan oleh Menteri.
(2)
Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
(3) Pelaksanaan
penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan
bekerjasama dengan institusi dan/atau peneliti asing sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB XI PENCATATAN DAN PELAPORAN
Pasal 55
(1)
Semua kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS harus
dilakukan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan pedoman yang berlaku.
(2) Fasilitas
pelayanan kesehatan wajib melakukan pencatatan perawatan, tindak lanjut
perawatan pasien HIV dan pemberian ARV serta mendokumentasikannya dalam rekam
medik.
Pasal 56
(3)
Fasilitas pelayanan kesehatan wajib melakukan pelaporan
kasus HIV, kasus AIDS dan pengobatannya kepada dinas kesehatan kabupaten/kota.
(4)
Dinas …
(5)
Dinas kesehatan kabupaten/kota melakukan kompilasi
pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan melakukan analisis untuk
pengambilan kebijakan dan tindak lanjut serta melaporkannya ke dinas kesehatan
provinsi.
(6)
Dinas kesehatan provinsi melakukan kompilasi pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan melakukan analisis untuk pengambilan
kebijakan dan tindak lanjut serta melaporkannya ke Menteri.
(7) Pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
dilakukan setiap bulan.
dilakukan setiap bulan.
BAB XII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 57
(8)
Menteri, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional,
pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota melakukan
pembinaan dan pengawasan kegiatan Penanggulangan HIV dan AIDS.
(9)
Mekanisme pembinaan dan pengawasan penanggulangan HIV
dan AIDS
dilakukan dengan kegiatan monitoring dan evaluasi.
dilakukan dengan kegiatan monitoring dan evaluasi.
(10) Dalam
rangka melaksanakan pembinaan dan pengawasan, Menteri, Komisi Penanggulangan
AIDS Nasional, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota
dapat mengenakan sanksi sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 58
Setiap fasilitas
pelayanan kesehatan yang belum memiliki kemampuan sesuai ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41, harus menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Menteri
ini paling lambat dalam waktu 1 (satu) tahun sejak Peraturan Menteri ini
berlaku.
BAB XIV KETENTUAN PENUTUP
Pasal 59
Pada saat
Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1285/Menkes/SK/X/2002
tentang Pedoman Penanggulangan HIV/AIDS dan Penyakit Menular Seksual dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 60
Peraturan
Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di
Jakarta
pada tanggal 21
Maret 2013
MENTERI
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
NAFSIAH MBOI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI HUKUM
DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar